Kata
Pengantar
Alhamdulillah
hirobbil’alamin, puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penyusun, sehingga penyusun
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan pada waktu yang telah
ditentukan. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi besar
Muhammad SAW, yang membimbing umatnya dari zaman jahiliyah menuju zaman
Islamiyah yakni ajaran agama Islam.
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Acara Pidana”. Penyusun
berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca tentang konsep yang ada
didalamnya.
Akhirnya
penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, sehingga
makalah ini bisa mencapai kesempurnaan.
Langsa, November 2013
Penyusun
Daftar
Isi
Kata
Pengantar.............................................................................. 1
Daftar
Isi......................................................................................... 2
BAB I
Pendahuluan..................................................................... 3
A.
Latar
Belakang............................................................................................ 3
B.
Rumusan
Masalah.................................................................................... 4
BAB II
Pembahasan.................................................................... 5
A.
Pemahaman
Pertanggung jawaban Pidana Anak.............................. 5
B.
Perlindungan
Hukum Terhadap Anak Pada Tahap Penyidikan...... 10
1.
Penyidik
Anak....................................................................................... 10
2.
Proses
Penyidikan Anak..................................................................... 11
BAB III
Penutup........................................................................... 23
A.
Kesimpulan................................................................................................. 23
B.
Saran............................................................................................................ 23
Daftar
Pustaka............................................................................... 24
BAB
I
Pendahuluan
A.
Latar Belakang
Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah
menikah. Anak tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana secara penuh,
karena seorang anak masih mempunyai keterbatasan kemampuan berpikir dan berada
dalam pengawasan orang tua atau walinya. Menurut UU No.3 Tahun 1997 pengertian
anak yang dapat dimasukkan dalam sistem peradilan pidana adalah anak yang telah
mencapai usia 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun dan belum pernah menikah.
Arus Globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan
teknologi dapat menimbulkan dampak positif dan negative terutama bagi anak.
Dampak positif pesatnya antara lain terciptanya berbagai macam produk yang
berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh melalui
satelit dan meningkatnya pendapat masyarakat. Sedang dampak negative nya antara
lain semakin meningkatnya krisis moral dimasyarakat yang berpotensi
meningkatnya jumlah orang yang melawan hokum pidana dalam berbagai bentuk. Hal
ini sangat mempengaruhi kehidupan anak-anak.
Sejak dahulu sampai sekarang , permasalahan pidana telah menyerap banyak energy
para anak bangsa untuk membangun rekontruksi sosial. Peningkatan aktivitas
kriminal dalam berbagai bentuk menuntut kerja keras dalam membangun
pemikiran-pemikiran baru mengenai arah kebijakan hokum dimasa depan.
Arah kebijakan hokum brtujuan menjadikan hokum sebagai aturan yang memberikan
perlindungan bagi hak-hak WN dan menjamin kehidupan generasi dimasa depan. Oleh
karena itu, sistem hokum tiap negara dalam praktiknya terus mengalami
modernisasi dan tidak ada satu negara pun yang dapat menolaknya. Contohnya
negara Indonesia yang menuntut dilakukannya perubahan disegala bidang,
diantaranya perubahan bidang hokum dengan memunculkan pemikiran-pemikiran baru
untuk mereformasi hokum yang ada saat ini.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah
pemahaman tentang pertanggung jawaban pidana anak ?
2.
Bagaimanakah
Perlindungan Hukum terhadap anak pada tahap penyidikan ?
BAB II
Pembahasan
A.
Pemahaman Pertanggung jawaban Pidana
Anak
Menurut
Roeslan Saleh dipidana atau tidaknya seseorang yang melakukan perbuatan pidana
tergantung apakah pada saat melakukan perbuatan ada kesalahan atau tidak,
apakah seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu memang punya kesalahan
maka tentu ia dapat dikenakan sanksi pidana, akan tetapi bila ia telah
melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, tetapi tidak mempunyai
kesalahan ia tentu tidak dipidana.
Mengenai
asas kesalahan, Moeljatno dan Roeslan Saleh, memisahkan perbuatan pidana dengan
pertanggungjawaban pidana yang disebut dengan ajaran dualisme.
Ajaran
dualisme memandang bahwa untuk menjatuhkan pidana ada dua tahap yang perlu
dilakukan, yaitu :
1. Hakim harus menanyakan, apakah
terdakwa telah melakukan yang dilarang oleh aturan undang-undang dengan
disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melangar aturan ini.
2. Apakah pertanyaan di atas
menghasilkan suatu kesimpulan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan undang-undang, maka ditanyakan lebih lanjut, apakah
terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau tidak mengenai perbuatan itu.
Pertanggung
jawaban pidana mensyaratkan pelaku mampu bertanggung jawab. Seseorang yang
tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana tidak dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana. Berikut yang menjadi pertanyaan adalah kapan
seseorang itu dikatakan mampu bertanggungjawab dan apakah ukurannya untuk
menyatakan adanya kemampuan bertanggungjawab itu.
KUHP
menentukan masalah kemampuan bertanggungjawab dihubungkan dengan pasal 44 KUHP.
Pasal 44 KUHP menentukan “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau jiwa
yang terganggu karena penyakit”. Berdasarkan pasal 44 Moeljatno menyimpulkan
bahwa untuk adanya kemapuan bertanggungjawab harus adanya kemampuan untuk
membedakan antara perbuatan baik dan perbuatan buruk, sesuai hokum dan yang
melawan hokum, dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan
tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Syarat pertama faktor akal, yaitu dapat
membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Syarat yang
kedua adalah faktor perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah
lakunya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan yang tidak. Sebagai
konsekuensinya, tentunya orang tidak mampu menetukan kehendaknya, menurut
kehendaknya, menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, dia
tidak mempunyai kesalahan. Orang yang demikian itu tidak dapat
dipertanggungjawabkan, menurut pasal 44, ketidakmampuan tersebut harus
disebabkan alat batinnya cacat atau sakit dalam tubuhnya.
Selanjutnya,
mengenai kesengajaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Criminee
Wetboek) tahun 1809 dicantumkan “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau
tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau yang diperintahkan oleh
undang-undang”. Memorie van Toeliching (MvT) Menteri kehakiman
sewaktu pengajuan Criminiel wetboek 1881 (yang menjadi Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tahun 1915) dijelaskan sengaja diartikan
dengan sadar dan kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu.
Beberapa
sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak dan
perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will (kehendak) dapat
ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua
teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak dan teori
pengetahuan atau membayangkan.
Menurut
teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik
dalam rumusan undang-undang,sedangkan menurut teori pengetahuan atau teori
membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena
manusia hanya dapat mengingini , mengharapkan atau membayangkan adanya suatu
akibat, adanya “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu
tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang
bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah
dibuat.
Kedua
teori Moeljatno tersebut lebih cenderung kepada teori pengetahuan dan membayangkan,alasannya
adalah :
Karena dalam
kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk menghendaki
sesuatu, orang terlebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran)
tentang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui seseorang belum tentu juga
dikehendaki olehnya. Lagi pula kehendak merupakan arah, maksud dan tujuan
perbuatannya. Konsekuensinya ialah, bahwa untuk menentuksn suatu perbuatan yang
dikehendaki oleh teKonsekuensinya ialah, bahwa untuk menentuksn suatu perbuatan
yang dikehendaki oleh terdakwa, (1)harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai
dengan motifnya untuk berbuat dan bertujuan yang hendak dicapai (2)antara
motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubunga kausal dalam batin terdakwa.
Secara umum
ilmu hokum pidana membedakan 3 (tiga) macam kesengajaan, yaitu:
1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet
alsoggmerk) adalah suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana yang
dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Jonkers kesengajaan ini
merupakan bentuk yang paling murni dan sederhana.
2. Kesengajaan dengan kesadaran akan
kepastian, yakni seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu
tindak pidana, dan menyadari bahwa apabila perbuatan itu dilakukan, maka
perbuatan lain yang juga merupakan pelanggaran pasti terjadi.
3. Kesengajaan melakukan suatu
perbuatan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan timbulnya suatu perbuatan
lain yang merupakan tindak pidana. Kesengajaan ini dikenal pula dengan sebutan voorwardelijk
opzet atau dolus eventualis.
Mengenai
kelalaian, Moeljatno mengutip pendapat Smint yang merupakan keterangan resmi
dari pihak pembentuk WsV sebagai berikut:
“Pada umumnya
kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada
perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang
itu mungkin sebagian besar berbahaya terhadap keamanan umum mengenai orang atau
barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus
bertindak terhadap mereka yang tidak berhati-hati, yang toledor. Dengan pendek,
yang menimbulkan keadaan itu karena kealpaannya. Di sini sikap batin orang yang
menimbulkan keadaan dilarang itu bukanlah menentang larang tersebut. Dia tidak
menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kesalahannya,
kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan hal yang
dilarang, lelah bahwa ia kurang mengindahkan larangan itu.”
Dari
apa yang diutarakan oleh Smint tersebut di atas, Moeljatno menyimpukan bahwa
kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi dasarnya
sama,yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana adanya
kemampuan bertanggung jawab, dan tidak adanya alasannya pemaaf, tetapi
bentuknya lain. Dalam kesengajaan, sikap batin orang menentang larangan. Dalam
kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam
melakukan sesuatu yang objektif klausal yang menimbulkan keadaan yang dilarang.
Dengan
terpenuhinya syarat-syarat adanya pertanggungjawaban pidana seorang anak, hal
ini berarti bahwa terhadap anak tersebut dapat dikenakanpemidanaan
Pemidanaan terhadap anak hendaknya harus memperhatikan perkembangan seorang
anak. Hal ii disebabkan bahwa anak tidak dapat/kurang perpikir dan kurangnya
pertimbangan atas perbuatan yang dilakukannya. Disamping itu, anak yang melakukan
perbuatan pidana tidak mempunyai motif pidana dalam melakukan tindakannya yang
sangat berbeda dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana karena memang
ada motif pidananya.
Pemberian
pertanggungjawaban terhadap anak harus mempertimbangkan perkembangan dan
kepentingan terbaik anak di masa yang akan datang. Penanganan yang salah
menyebabkan rusak bahkan musnahnya bangsa di masa depan, karena anak adalah
generasi penerus bangsa dan cita-cita negara.
Undang-undang
No.3 tahun 1997 Bab III memuat sanksi pidana dan tindakan yang dapat
dijatuhkan kepada anak. Sebagaimana ditentukan dalam pasal23 UU No.3 Tahun 1997
pidan ayng dapat dijatuhkan kepada anak berupa pidana pokok dan pidana
tambahan. Pidana pokok berupa (a) Pidana penjara, (b) Pidana kurungan (c)
Pidana denda (d) pidana pengawasan. Sedangkan pidana tambahan berupa permpasan
barang-barang tertentu dan ataupembayaran ganti rugi.
Sesuai
dengan UU No.3 Tahun 1997 batas usia anak yang dapat diajukan ke sidang anak
adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun
dan belum pernah kawin (4). Sedangkan mengenai penjatuhan sanksi, diberikan
batasan umur terhadap anak yang masih berumur 8 sampai dengan 12 tahun, akan
diberi tindakan; (1) dikembalikan kepada orang tuanya, (2) ditempatkan pada
organisasi sosial atau (3) diserahkan kepada negara.
Setiap
anak pelaku tindak pidana yang masuk sistem peradilan pidana harus diperlakukan
secara manusiawi sebagaimana termuat dalam UU No.3 tahun 2003 tentang
perlindungan anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak
untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangannya, serta penghargaan terhadap
anak.
Pada pasal 64 UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak juga mengatur
perlindungan terhadap anak yaitu:
1. Perlakuan atas anak secara manusiawi
sesuai dengan martabat dan hak-hak anak
2. Penyediaan petugas pendamping khusus
anak sejak dini
3. Penyediaan sarana dan prasarana
khusus
4. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk
kepentingan yang tebaik bagi anak
5. Pemantauan dan pencatatan
terus-menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum.
Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga.
6. Perlindungan dari pemberitaan
identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Anak
yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan
terlarang bagi anak dapat dilakukan penahanan. UU nasional memberikan peluang
dilakukannya penahanan terhadap anak pelaku tindak pidana. Contohnya pasal 43
ayat 2 UU No.3 tahun 1997 menyatakan bahwa “Penangkapan anak nakal dilakukan
guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu) hari”. Dalam pasal 44
ayat 2menyebutkan bahwa “Penahanan hanya berlaku utuk paling lama 20 hari.
Dalam ayat 3 menyebutkan bahwa “Apabila diperlukan guna kepentinan pemeriksaan
yang belum selesai, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut
umum yang berwenang, untuk paling lama 10 hari”. Selanjutnya dalam ayat 4
menyatakan bahwa “Dalam jangka waktu 30 hari penyidik sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat 3 sudah harus menyerahkan berkas perkara pada pihak
penuntut umum. Jika dalam jangka waktu 30 hari polisi belum menyerahkan berkas
perkara pada pihak penuntut umum, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan
demi hokum”. Selama anak ditahan, anak harus berada ditempat khusus dengan
kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi.
B.
Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada
Tahap Penyidikan
1.
Penyidik
Anak
Perkara
pidana yang dilakukan oleh anak-anak pada umumnya ketentuan yang dilanggar
adalah peraturan pidana yang terdapat dalam KUHP, maka penyidikannya dilakukan
oleh penyidik umum dalam hal ini penyidik Polri. Sejalan akan diberlakukannya
dengan diberlakukannya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, telah
dipertegas bahwa penyidikan terhadap perkara anak nakal dilakukan oleh penyidik
Polri dengan dasar hukum Pasal 26 ayat (1) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak dan yang pada intinya menyebutkan bahwa ”penyidikan
terhadap perkara anak dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat
Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kapolri”.
Meskipun penyidiknya penyidik Polri, akan tetapi tidak semua penyidik Polri
dapat melakukan penyidikan terhadap perkara anak nakal. Undang – Undang Sistem
Peradilan Pidana Anak dikenal adanya penyidik anak, yang berwenang melakukan
penyidikan. Penyidik anak diangkat oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Khusus
untuk kepentingan tersebut. Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak
melalui Pasal 26 Ayat (3) menetapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh
seorang Penyidik adalah :
- Telah berpengalaman sebagai penyidik;
- Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
- Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak
Perlindungan
hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan dimulai semenjak tingkat
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai
pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. Selama proses peradilan tersebut
, maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum yang berlaku dan oleh sebab itu
harus dilakukan secara konsekuen oleh pihak-pihak terkait dengan penyelesaian
masalah anak nakal tersebut.
2.
Proses
Penyidikan Anak
Kekuasaan
Penyidikan adalah tahap yang paling menentukan dalam operasionalisasi Sistem
Peradilan Pidana Terpadu tersebut dalam rangka tercapainya tujuan dari
Penegakan Hukum Pidana, karena pada tahap penyidikanlah dapat diketahui adanya
tersangka suatu peristiwa kejahatan atau tindak pidana serta menentukan
tersangka pelaku kejahatan atau tindak pidana tersebut sebelum pelaku kejahatan
tersebut pada akhirnya dituntut dandiadili di pengadilan serta diberi sanksi
pidana yang sesuai dengan perbuatannya. Tanpa melalui proses atau tahapan
penyidikan maka secara otomatis, tahapan-tahapan selanjutnya dalam proses
peradilan pidana yaitu tahapan penuntutan, pemeriksaan di muka pengadilan dan
tahap pelaksanaan putusan pidana tidak dapat dilaksanakan.
Penyidikan
itu sendiri, berarti serangkaian tindakan penyidik, dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya, sedangkan ”bukti”, dalam ketentuan tersebut di atas
adalah meliputi alat bukti yang sah dan benda sitaan/barang bukti. Di
Indonesia, masalah kewenangan dan ketentuan mengenai ”Penyidikan” diatur di
dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menjadi
dasar hukum pidana formil di Indonesia. Ketentuan mengenai aparat yang
berwenang untuk melakukan penyidikan, selain diatur di dalam KUHAP, juga diatur
di dalam Peraturan Perundang-undangan lain di luar KUHAP.
Tindakan
yang dapat dilakukan penyidik adalah penangkapan, penahanan, mengadakan
pemeriksaan ditempat kejadian, melakukan penggeledahan, pemeriksaan tersangka
dan interogasi, membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP), penyitaan, penyimpanan
perkara, melimpahan perkara. Penyidikan yang diterapkan dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak harus dipandang
sebagaimana layaknya status dan fungsi seorang penyidik menurut KUHAP.
Penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan oleh penyidik
anak yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau
pejabat yang ditunjuknya.
Penyidikan
terhadap anak tersebut haruslah dalam suasana kekeluargaan sebagaimana diatur
dalam Pasal 18 UU RI No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
menyebutkan bahwa :
“Dalam
menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi, Pembimbing
Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial,
Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya
wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana
kekeluargaan tetap terpelihara.”
Penyidik
wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan (Pasal 18 UU No. 11 Tahun
2012). Kentuan ini menghendaki bahwa pemeriksaan dilakukan dengan pendekatan
secara efektif dan simpatik. Efektif dapat diartikan, bahwa pemeriksaannya
tidak memakan waktu lama, dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, dan
dapat mengajak tersangka memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya. Simpatik
maksudnya pada waktu pemeriksaan, penyidik bersikap sopan dan ramah serta tidak
menakut-nakuti tersangka. Tujuannya adalah agar pemeriksan berjalan dengan
lancar, karena seorang anak yang merasa takut sewaktu menghadapi penyidik, akan
mengalami kesulitan untuk mengungkapkan keterangan yang benar dan
sejelas-jelasnya. Pada waktu pemeriksaan tersangka, penyidik tidak memakai
pakaian seragam.
Ketentuan
Pasal 18 ini, mencerminkan perlindungan hukum pada anak, apabila penyidik tidak
melakukan pemeriksaan dalam suasana kekeluargaan, tidak ada sanksi hukum yang
dapat dikenakan kepadanya. Dalam melakukan penyidikan anak nakal, penyidik
wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan, dan
apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan,
ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya (Pasal 27
ayat 1 dan 2 UU No. 11 Tahun 2012). Laporan penelitian kemasyarakatan,
dipergunakan oleh penyidik anak sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan
tindakan penyidikan, mengingat bahwa anak nakal perlu mendapat perlakuan sebaik
mungkin dan penelitian terhadap anak dilakukan secara seksama oleh peneliti
kemasyarakatan (Bapas), agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar.
Pasal
27 ayat 1 UU No. 11 tahun 2012, menentukan bahwa dalam melakukan penyidikan
anak nakal, penyidik dibantu pembimbing kemasyarakatan. Pasal 65 ayat 1 huruf b
UU No. 11 Tahun 2012, menentukan bahwa pembimbing kemasyarakatan bertugas
membantu memperlancar penyidikan dengan membuat laporan penelitian kemasyarakatan.
Proses
penyidikan anak nakal, wajib dirahasiakan ( Pasal 19 ayat 1 UU No. 11 Tahun
2012). Tindakan penyidik berupa penangkapan, penahanan, dan tindakan lain yang
dilakukan mulai dari tahap penyelidikan hingga tahap penyidikan, wajib
dilakukan secara rahasia.
Perkara
anak dapat diajukan ke sidang pengadilan sesuai Pasal 20 UU No. 11 Tahun 2012
adalah perkara anak yang berumur 12 tahun dan belum genap berumur 18 tahun dan
diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas
umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak. Namun pasal 24 UU No.11 tahun 2012,
masih memungkinkan dilakukan penyidikan anak yang berumur dibawah 12 tahun,
namun berkas perkaranya tidak akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan
penuntutan di persidangan. Tujuan dilakukan penyidikan terhadap anak yang belum
berumur 12 tahun yang diduga melakukan tindak pidana adalah untuk mengetahui
bahwa anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana seorang diri atau ada
orang lain yang terlibat atau anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana
bersama-sama dengan orang lain atau Tentara Nasional Indonesia (TNI), dalam hal
ini yang berumur 12 tahun keatas dan atau dengan orang dewasa atau TNI.
Bertolak
dari hal tersebut maka pada waktu pemeriksaan terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum tersebut seorang penyidik tidak memakai seragam atau dinas dan
melakukan pendekatan secara efektif, aktif, dan simpatik.
Penyidikan
merupakan kompensasi penyidik, termasuk menghentikannya (Pasal 109 ayat 2
KUHAP). Alasan pemberian wewenang penghentian penyidikan ada dua yaitu ;
- Untuk menegakan prinsip penegakan hokum yang cepat, tepat, dan biaya ringan, sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Jika penidik berkesimpulan bahwa hasil penyelidikan dan penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka ke pengadilan, penyidik secara rmenyatakan penghentianpemeriksaan penyidikan, agar dengan demikian segera tercipta kepastian hokum, baik bagi penyidik sendiri, terutama kepada tersangka dan masyarakat;
- Supaya penyidik terhindar dari kemungkinan tuntutan ganti kerugian, jika perkaranya diteruskan ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut atau menghukum, dengan sendirinya member hak kepada tersangka/terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan Pasal 95 KUHAP.
Dalam praktik,
alasan penghentian penyidikan adalah :
- Delik yang terjadi merupakan delik aduan yang dapat dilakukan pencabutan; perbuatan yang terjadi bukan merupakan perbuatan pidana;
- Anak masih sekolah dan masih dapat dibina orang tuanya, sehingga anak tersebut dikembalikan kembali kepada orang tuanya dan kasusnya tidak akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.
Penghentian
penyidikan juga dilakukan apabila ada perdamaian antara pihak anak nakal dengan
korban. Hal ini merupakan penyimpangan, karena perdamaian tidak dikenal dalam
perkara pidana. Seyogyanya penghentian penyidikan dilakukan atas pertimbangan
kepentingan anak, terlepas dari ada perdamaian atau tidak. Apabila penuntut
umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut masih kurang lengkap, maka
penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, disertai
petunjuk untuk dilengkapi. Setelah penyidik menerima berkas perkara tersebut,
penyidik wajib melakukan penyidikan tambahan dan dalam tempo 14 hari setelah
pengembalian berkas perkara dari penuntut umum, penyidik sudah menyiapkan
pemeriksaan penyidikan tambahan ( disempurnakan) dan diserahkan lagi kepada penuntut
umum ( Pasal 110 ayat 1 KUHAP )
Penyidikan
dianggap selesai dan lengkap, apabila telah ada pemberitahuan dari penuntut
umum yang menyatakan bahwa berkas perkara telah lengkap atau apabila tanggapan
waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penuntut umum tidak menyampaikan
pernyataan apa-apa dan tidak pula mengembalikan berkas perkara itu kepada
penyidik. Terhitung sejak tenggang waktu tersebut, dengan sendirinya menurut
hokum penyerahan berkas perkara sudah sah dan sempurna, beralih kepada penuntut
umum tanpa memerlukan proses lagi. Terjadi penyerahan tanggung jawab hukum atas
seluruh perkara yang bersangkutan dari penyidik kepada penuntut umum. Peralihan
tanggung jawab yuridis atas berkas perkara, tanggung jawab hukum atas tersangka
dan tanggung jawab hukum atas segala barang bukti atau benda yang disita.
Secara
garis besarnya tugas-tugas penyidikan terdiri dari tugas menjalankan operasi
lapangan dan tugas administrasi hukum. Menurut Undang-undang No. 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, terdapat tugas-tugas penyidik yang
berhubungan dengan tugas yang meliputi :`
a)
Penangkapan
Mengenai
tindakan penangkapan diatur dalam ketentuan-ketentuan KUHAP. Berdasarkan
pasal 16 KUHAP dapat diketahui bahwa tujuan penangkapan tersangka ialah untuk
kepentingan penyelidikan dan kepentingan penyidikan. Perintah penangkapan
dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup (Pasal 17 KUHAP). Pelaksana tugas penangkapan
dilakukan oleh petugas kepolisian Negara RI, dengan memperlihatkan surat tugas
dan memberikan kepada tersangka surat–surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka. Menyatakan alasan penangkapan, dan uraian
singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan,serta mengemukakan tempat
tersangka diperiksa (Pasal 18 KUHAP).
Pengertian
penangkapan menurut KUHAP Pasal 1 butir (20) :
“Penangkapan
adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan
tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan
penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini”.
Ketentuan
hukum acara pidana yang menjadi sorotan essential dari proses penyidikan adalah
penangkapan terhadap pelaku tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, dimana
tugas penangkapan berbatasan dengan ketentuan hukum yang menegakkan hak-hak
asasi anak yang mendapatkan tuntutan keadilan hukum terhadap aparat penegak
hukum dan pemerintah (lembaga polisi). Ketentuan terhadap dasar perlindungan
anak harus dapat menonjolkan bentuk-bentuk tindakan dan upaya rasional dan
berdimensi rasa keadilan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Wewenang
penangkapan dan penahanan terhadap anak menurut Pasal 30 Undang-undang No.11
tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa kegiatan yang
berhubungan dengan penangkapan dan penahanan mengikuti ketentuan Hukum Acara
Pidana (KUHAP). Penangkapan dan penahanan terhadap anak pelaku kejahatan atau
anak nakal pada tahap penyidikan diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 33
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
bahwa : Penangkapan anak nakal sama seperti penangkapan terhadap orang dewasa
yang dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) yaitu pada Pasal 19 dan penangkapan tersebut dilakukan guna kepentingan
pemeriksaan untuk paling lama 1 ( satu ) hari.
Wewenang
penangkapan dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum harus pula
memperhatikan asas hukum pidana yaitu : Presumsion Of Innocence ( Asas
Praduga Tak Bersalah). Dalam melakukan penangkapan diperhatikan hak-hak anak
sebagai tersangka, seperti hak mendapat bantuan hukum pada setiap tigkat
pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 54
KUHAP). KUHAP tidak mengatur secara tegas bukti cukup atau tidak. Hal ini tidak
mencerminkan perlindungan hukum terhadap anak, karena itu perlu diatur secara
tegas dalam KUHAP yang berlaku secara khusus untuk anak.
Kedudukan
anak dalam proses pemeriksaan penyidikan terdapat nuansa yang menimbulkan
hak-hak anak secara khusus yang dapat mengesampingkan upaya paksa dan tindakan
paksa dari proses penyidikan. Kontak awal antara anak dan polisi harus
dihindarkan dalam suasana kekerasan fisik dan psikis sehingga dalam proses
penyidikan terdapat hak-hak anak yang meliputi :
- Terhadap keluarga anak sebagai tersangka wajib diberitahukan terlebih dahulu baik melalui surat maupun lisan sebelum proses penangkapan dilakukan
- Penangkapan terhadap anak tidak dibolehkan dengan menggunakan alat atau senjata upaya paksa atau wewenang paksa
- Tersangka anak haru segera mendapat bantuan hukum secara wajib dan Cuma-cuma (dalam penangkapan penyidik penuntut umum harus mengikutsertakan seorang pengacara yang kelak akan menjadi penasehat hukum anak tersebut)
- Tersangka anak atau orang belum dewasa harus segera mendapatkan proses pemeriksaan
- Hak untuk mendapatkan ganti kerugian sebagai akibat dari kesalahan.
b)
Penahanan
Setelah
tindakan penangkapan, dapat dilakukan tindakan penahanan. Menurut Pasal 1 butir
21 KUHAP : “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat
tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya,
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Berdasarkan
wewenang tersebut maka setiap instansi penegak hukum memiliki wewenang untuk
melakukan penahanan.
Penahanan
oleh penyidik anak atau penuntut umum anak atau hakim anak dengan penetapan,
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang No.11 tahun 2012
dan KUHAP, menentukan bahwa tersangka atau terdakwa dapat ditahan. Karena ada
istilah “dapat” ditahan, berarti penahanan anak tidak selalu harus dilakukan,
sehingga dalam hal ini penyidik diharap betul-betul mempertimbangkan apabila
melakukan penahanan anak. Menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP, alasan penahanan
adalah karena ada kehawatiran melarikan diri, agar tidak merusak atau
menghilangkan barang bukti, agar tidak mengulangi tindak pidana. Menurut hukum
acara pidana, menghilangkan kemerdekaan seseorang tidak merupakan keharusan,
tetapi untuk mencari kebenaran bahwa seseorang melanggar hukum, kemerdekaan
seseorang itu dibatasi dengan melakukan penangkapan dan penahanan.
Penahanan
Anak harus memperhatikan kepentingan yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan
anak baik fisik, mental, maupun sosial anak serta mempertimbangkan kepentingan
masyarakat misalnya dengan ditahannya anak akan membuat masyarakat aman dan
tentram.
Pasal
33 ayat (1) UU No. 11 tahun 2012 menentukan bahwa untuk kepentingan penyidikan,
penyidik berwenang melakukan penahanan anak yang diduga keras melakukan tindak
pidana (kenakalan) berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dasar diperkenankan
suatu penahanan anak, adalah adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup,
bahwa anak melakukan tindak pidana (kenakalan). Pasal 32 ayat 2 huruf a dan b
UU No. 11 Tahun 2012 menegaskan bahwa Penahanan dilakukan apabila anak
melakukan tindak pidana berusia 14 tahun ke atas dan diancam pidana penjara 7
tahun keatas yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal ini, muncul
persoalan dalam menentukan “diduga keras” dan “bukti permulaan,” sebab bisa
saja penyidik salah duga atau menduga-duga saja, hal ini tidak mencerminkan
perlindungan anak. Anak dapat menjadi korban ketidak cermatan atau ketidak
telitian penyidik. Menentukan bukti yang cukup sebagai bukti permulaan, dalam
KUHAP tidak diatur dengan tegas, hal ini tidak mencerminkan perlindungan anak.
Bisa saja menurut penyidik bukti permulaan telah cukup, padahal hakim dalam
pra-peradilan (apabila diajukan pra-peradilan oleh anak nakal/penasehat
hukumnya) memutuskan bahwa penahanan tidak sah, anak sudah dirugikan terutama
dari segi mental, anak merasa tertekan dan trauma atas pengalaman-pengalaman
tersebut. Menjamin agar ketentuan mengenai dasar penahanan ini diindahkan,
diadakan institusi pengawasan yang dilakukan oleh atasan di instansi
masing-masing, yang merupakan “built in control” maupun pengawasan
sebagai sistem “checking” antara penegak hukum.
Terkait
dengan penahanan, penahanan tahap pertama terhadap anak berbeda dengan
penahanan terhadap orang dewasa yaitu dilakukan hanya berlaku paling lama 7
(tujuh) hari dan apabila belum selesai, atas permintaan penyidik dapat
diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 8 (delapan)
hari.
Dalam
waktu 15 (lima belas hari), Polri sebagai penyidik tindak pidana sudah harus
menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada Penuntut Umum, apabila
jangka waktu tersebut dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan maka
tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Perbedaan antara penahanan
terhadap anak dengan penahanan orang dewasa terletak di jangka waktu penahanan
dan perpanjangan penahanan apabila proses penyidikan belum selesai. Penahanan
tahap pertama bagi orang dewasa 20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 40
(empat puluh) hari. Disamping itu penahanan terhadap anak dilaksanakan di
tempat khusus untuk anak yakni lembaga penempatan anak sementara (LPAS) atau
lembaga Penyelenggaraan kesejahteraan social (LPKS) apabila belum terdapat LPAS.
Penahanan
yang dilakukan dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan
atau kepentingan masyarakat. Penyididk yang melakukan tindakan penahanan, harus
terlebih dahulu mempertimbangkan dengan matang akibat dari tindakan penahanan,
dari segi kepentingan anak, seperti pertumbuhan dan perkembangan anak baik
fisik, mental maupun sosial.
Selain
itu dipertimbangkan dengan matang kepentingan masyarakat, misalnya dengan
ditahannya tersangka masyarakat menjadi aman dan tentram. Hal ini sulit didalam
penerapannya, sebab dalam mempertimbangkan kepentingan yang dilindungi dengan
melakukan penahanan, tidak mudah dan menyulitkan pihak penyidik yang melakukan
tindakan penahanan. Dalam tindakan penahanan, penyidik seharusnya melibatkan
pihak yang berkompeten, seperti pembimbing kemasyarakatan, psikolog,
kriminolog, dan ahli lain yang diperlukan, sehingga penyidik anak tidak salah
mengambil keputusan dalam melakukan penahanan.
Pasal
32 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 menentukan bahwa alasan penahanan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara tegas dalam surat printah
penahanan. Pelanggaran atau kelalaian atas Pasal Pasal 32 ayat (3) UU No. 11
Tahun 2012, tidak diatur dengan tegas akibat hukumnya, sehingga dapat merugikan
anak. Penahanan anak, didasarkan atas pertimbangan kepentingan anak dan
kepentingan masyarakat yang harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah
penahanan. Keharusan ini tidak ada akibat hukumnya, manakala pejabat yang
berwenang melakukan penahanan. Sanksi yang dapat diberikan terhadap penyidik
anak tidak diatur atau akibat hukum dari tindakan penahanan tersebut tidak
jelas. Perkembangan hukum dibidang pengadilan anak ini semakin menunjukkan
kelemahan KUHAP, terutama menyangkut pra-peradilan.
Dalam
prakteknya, dasar pertimbangan dilakukan penahanan anak belum dipahami pihak
kepolisian secara tepat. Mereka masih menganggap bahwa dasar pertimbangan
dilakukan menahan anak, adalah karena anak melakukan tindak pidanya yang
diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, dikhawatirkan melarikan diri,
merusak bukti atau mengulangi tindak pidana. Bila dipahami secara mendalam,
dapat diketahui bahwa dasar pertimbangan penahanan anak menurut Pasal 32 ayat
(2) UU No. 11 tahun 2012 adalah Penahanan dilakukan apabila anak melakukan tindak
pidana berusia 14 tahun ke atas dan diancam pidana penjara 7 tahun keatas yang
ditentukan oleh undang-undang. Jika kepentingan anak menghendaki dilakukan
penahanan, maka anak tersebut ditahan. Tetapi apabila kepentingan anak tidak
menghendaki, walaupun anak melakukan tindak pidana yang diancam dengan penjara
7 (tujuh) tahun atau lebih, maka tidak dilakukan penahanan. Kepentingan anak
dalam hal ini, ialah dipertimbangkannya pengaruh penahanan terhadap
perkembangan fisik, mental, dan sosial anak, maka penahanan anak tidak
dilakukan. Penahanan dilakukan sebagai upaya terakhir/tindakan terakhir dan
dalam jangka waktu singkat. Mempertimbangkan kepentingan anak, dilibatkan balai
pemasyarakatan yang melakukan penelitian kemasyarakatan terhadap anak nakal, dapat
juga dilibatkan ahli-ahli seperti kriminolog, psikolog, pemuka agama
(rohaniawan) dan lain-lain.
Tempat
penahanan anak, harus dipisah dari tempat penahanan orang dewasa dan selama
anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi
(Pasal 33 ayat 4 dan ayat 5 UU No.11 Tahun 2012). Penahanan anak ditempatkan
lembaga penempatan anak sementara (LPAS) atau lembaga Penyelenggaraan
kesejahteraan social (LPKS) apabila belum terdapat LPAS, tempatnya terpisah
dari narapidana anak. Hal ini dilatar belakangi oleh pertimbangan psikologis,
untuk menghindari akibat negatif sebab anak yang ditahan belum tentu terbukti
melakukan kenakalan, bergaul dengan narapidana anak, dikhawatirkan dapat
menularkan pengalaman-pengalamannya kepada anak yang berstatus tahanan, dan
mempengaruhi perkembangan mentalnya. Dalam praktek, diketahui bahwa tahanan
anak digabung dengan orang dewasa, dengan alasan bahwa tempat penahanan di
lembaga pemasyarakatan orang dewasa belum penuh. Hal ini sangat berbahaya dan
tidak mencerminkan perlindungan anak. Narapidana anak dan tahanan anak,
berpengaruh dengan sikap dan tindakan tahanan dewasa. Anak bisa saja mengetahui
pengalaman-pengalaman melakukan kejahatan yang belum pernah didengar dan
dilakukannya, atau bahkan anak dapat menjadi korban pelecehan seksual selama
berada dalam tahanan tersebut.
BAB III
Penutup
A.Kesimpulan
1. Seorang anak
tidak seutuhnya dapat mempertanggung jawabkan semua perbuatannya karena
lingkungan dan masyarakat merupakan suatu kontrol dalam menilai tindakan yang
dilakukannya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
seorang anak berurusan dengan aparat penegak hukum antara lain kurangnya
perhatian keluarga, faktor pergaulan/lingkungan, kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, arus globalisasi dibidang informasi dan komunikasi serta perubahan
gaya hidup sebagian orang tua.
2. Perlindungan
dalam proses penyidikan kepada anak terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh
anak adalah sebagai bentuk perhatian dan perlakuan khusus untuk melindungi kepentingan
anak. Perhatian dan perlakuan khusus tersebut berupa perlindungan hukum agar
anak tidak menjadi korban dari penerapan hukum yang salah yang dapat
menyebabkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya.
B.Saran
1. Masa anak-anak adalah masa yang sangat rawan melakukan
tindakan, hal ini karena masa anak-anak suatu masa yang sangat rentan dengan
berbagai keinginan dan harapan untuk mencapai sesuatu ataupun melakukan
sesuatu. Seorang anak dalam melakukan sesuatu tidak /kurang menilai akibat
akhir dari tindakan yang di ambilnya. Oleh karena itu orang tua mempunyai
kewajiban untuk membantu anak baik secara fisik, ekonomi maupun psikis dalam
perkembangan kejiwaan anak.
2. Hendaknya dasar legetimasi mengenai adanya pengaturan
tindakan lain yang dapat dilakukan oleh penyidik agar tidak melakukan penahanan
dapat digunakan oleh penyidik dalam setiap proses penanganan anak yang
bermasalah dengan shukum agar proses penanganan anak yang bermasalah dengan
hukum sesuai dengan prinsip peradilan anak tersebut berjalan sesuai dengan
tujuan yang dicita-citakan.
Daftar Pustaka
Dr.Marlina SH.M.HUM.2009.Peradilan Pidana Anak di
Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.
http://aminhamid09.wordpress.com/2012/11/15/perlindungan-hukum-terhadap-anak-pada-tahap-penyidikan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar