Minggu, 24 November 2013

hukum acara pidana anak



Kata Pengantar
Alhamdulillah hirobbil’alamin, puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan pada waktu yang telah ditentukan. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW, yang membimbing umatnya dari zaman jahiliyah menuju zaman Islamiyah yakni ajaran agama Islam.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Hukum Acara Pidana”. Penyusun berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan pembaca tentang konsep yang ada didalamnya.
Akhirnya  penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Untuk itu  penyusun mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca, sehingga makalah ini bisa mencapai kesempurnaan.




Langsa, November 2013



Penyusun



Daftar Isi
Kata Pengantar..............................................................................           1
Daftar Isi.........................................................................................           2
BAB  I  Pendahuluan.....................................................................           3
A.   Latar Belakang............................................................................................             3
B.   Rumusan Masalah....................................................................................             4
BAB  II  Pembahasan....................................................................           5
A.   Pemahaman Pertanggung jawaban Pidana Anak..............................             5
B.   Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada Tahap Penyidikan......             10
1.    Penyidik Anak.......................................................................................             10
2.    Proses Penyidikan Anak.....................................................................             11
BAB  III  Penutup...........................................................................           23
A.   Kesimpulan.................................................................................................             23
B.   Saran............................................................................................................             23
Daftar Pustaka...............................................................................           24




BAB I
Pendahuluan
A.  Latar Belakang
            Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun dan belum pernah menikah. Anak tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana secara penuh, karena seorang anak masih mempunyai keterbatasan kemampuan berpikir dan berada dalam pengawasan orang tua atau walinya. Menurut UU No.3 Tahun 1997 pengertian anak yang dapat dimasukkan dalam sistem peradilan pidana adalah anak yang telah mencapai usia 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun dan belum pernah menikah.
            Arus Globalisasi yang diikuti oleh perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menimbulkan dampak positif dan negative terutama bagi anak. Dampak positif pesatnya antara lain terciptanya berbagai macam produk yang berkualitas dan berteknologi, terbukanya informasi yang diperoleh melalui satelit dan meningkatnya pendapat masyarakat. Sedang dampak negative nya antara lain semakin meningkatnya krisis moral dimasyarakat yang berpotensi meningkatnya jumlah orang yang melawan hokum pidana dalam berbagai bentuk. Hal ini sangat mempengaruhi kehidupan anak-anak.
            Sejak dahulu sampai sekarang , permasalahan pidana telah menyerap banyak energy para anak bangsa untuk membangun rekontruksi sosial. Peningkatan aktivitas kriminal dalam berbagai bentuk menuntut kerja keras dalam membangun pemikiran-pemikiran baru mengenai arah kebijakan hokum dimasa depan.
            Arah kebijakan hokum brtujuan menjadikan hokum sebagai aturan yang memberikan perlindungan bagi hak-hak WN dan menjamin kehidupan generasi dimasa depan. Oleh karena itu, sistem hokum tiap negara dalam praktiknya terus mengalami modernisasi dan tidak ada satu negara pun yang dapat menolaknya. Contohnya negara Indonesia yang menuntut dilakukannya perubahan disegala bidang, diantaranya perubahan bidang hokum dengan memunculkan pemikiran-pemikiran baru untuk mereformasi hokum yang ada saat ini.
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimanakah pemahaman tentang pertanggung jawaban pidana anak ?
2.    Bagaimanakah Perlindungan Hukum terhadap anak pada tahap penyidikan ?















BAB II
Pembahasan
A.   Pemahaman Pertanggung jawaban Pidana Anak
Menurut Roeslan Saleh dipidana atau tidaknya seseorang yang melakukan perbuatan pidana tergantung apakah pada saat melakukan perbuatan ada kesalahan atau tidak, apakah seseorang yang melakukan perbuatan pidana itu memang punya kesalahan maka tentu ia dapat dikenakan sanksi pidana, akan tetapi bila ia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, tetapi tidak mempunyai kesalahan ia tentu tidak dipidana.
Mengenai asas kesalahan, Moeljatno dan Roeslan Saleh, memisahkan perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana yang disebut dengan ajaran dualisme.
Ajaran dualisme memandang bahwa untuk menjatuhkan pidana ada dua tahap yang perlu dilakukan, yaitu :
1.    Hakim harus menanyakan, apakah terdakwa telah melakukan yang dilarang oleh aturan undang-undang dengan disertai ancaman pidana bagi barang siapa yang melangar aturan ini.
2.    Apakah pertanyaan di atas menghasilkan suatu kesimpulan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan undang-undang, maka ditanyakan lebih lanjut, apakah terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atau tidak mengenai perbuatan itu.
Pertanggung jawaban pidana mensyaratkan pelaku mampu bertanggung jawab. Seseorang yang tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Berikut yang menjadi pertanyaan adalah kapan seseorang itu dikatakan mampu bertanggungjawab dan apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan bertanggungjawab itu.
KUHP menentukan masalah kemampuan bertanggungjawab dihubungkan dengan pasal 44 KUHP. Pasal 44 KUHP menentukan “barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau jiwa yang terganggu karena penyakit”. Berdasarkan pasal 44 Moeljatno menyimpulkan bahwa untuk adanya kemapuan bertanggungjawab harus adanya kemampuan untuk membedakan antara perbuatan baik dan perbuatan buruk, sesuai hokum dan yang melawan hokum, dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Syarat pertama faktor akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Syarat yang kedua adalah faktor perasaan atau kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan yang tidak. Sebagai konsekuensinya, tentunya orang tidak mampu menetukan kehendaknya, menurut kehendaknya, menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi, dia tidak mempunyai kesalahan. Orang yang demikian itu tidak dapat dipertanggungjawabkan, menurut pasal 44, ketidakmampuan tersebut harus disebabkan alat batinnya cacat atau sakit dalam tubuhnya.
Selanjutnya, mengenai kesengajaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Criminee Wetboek) tahun 1809 dicantumkan “sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau yang diperintahkan oleh undang-undang”. Memorie van Toeliching (MvT) Menteri kehakiman sewaktu pengajuan Criminiel wetboek 1881 (yang menjadi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia tahun 1915) dijelaskan sengaja diartikan dengan sadar dan kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu.
Beberapa sarjana merumuskan de will sebagai keinginan, kemauan, kehendak dan perbuatan merupakan pelaksanaan dari kehendak. De will (kehendak) dapat ditujukan terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua teori yang berkaitan dengan pengertian “sengaja” yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan atau membayangkan.
Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang,sedangkan menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat mengingini , mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat, adanya “sengaja” apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan sebagai maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat.
Kedua teori Moeljatno tersebut lebih cenderung kepada teori pengetahuan dan membayangkan,alasannya adalah :
Karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab untuk menghendaki sesuatu, orang terlebih dahulu sudah harus mempunyai pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu. Tapi apa yang diketahui seseorang belum tentu juga dikehendaki olehnya. Lagi pula kehendak merupakan arah, maksud dan tujuan perbuatannya. Konsekuensinya ialah, bahwa untuk menentuksn suatu perbuatan yang dikehendaki oleh teKonsekuensinya ialah, bahwa untuk menentuksn suatu perbuatan yang dikehendaki oleh terdakwa, (1)harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan bertujuan yang hendak dicapai (2)antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubunga kausal dalam batin terdakwa.
Secara umum ilmu hokum pidana membedakan 3 (tiga) macam kesengajaan, yaitu:
1.    Kesengajaan sebagai maksud (opzet alsoggmerk) adalah suatu perbuatan yang merupakan tindak pidana yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan. Menurut Jonkers kesengajaan ini merupakan bentuk yang paling murni dan sederhana.
2.    Kesengajaan dengan kesadaran akan kepastian, yakni seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan suatu tindak pidana, dan menyadari bahwa apabila perbuatan itu dilakukan, maka perbuatan lain yang juga merupakan pelanggaran pasti terjadi.
3.    Kesengajaan melakukan suatu perbuatan dengan keinsyafan bahwa ada kemungkinan timbulnya suatu perbuatan lain yang merupakan tindak pidana. Kesengajaan ini dikenal pula dengan sebutan voorwardelijk opzet atau dolus eventualis.
Mengenai kelalaian, Moeljatno mengutip pendapat Smint yang merupakan keterangan resmi dari pihak pembentuk WsV sebagai berikut:
“Pada umumnya kejahatan wet mengharuskan bahwa kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin sebagian besar berbahaya terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak terhadap mereka yang tidak berhati-hati, yang toledor. Dengan pendek, yang menimbulkan keadaan itu karena kealpaannya. Di sini sikap batin orang yang menimbulkan keadaan dilarang itu bukanlah menentang larang tersebut. Dia tidak menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kesalahannya, kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan hal yang dilarang, lelah bahwa ia kurang mengindahkan larangan itu.”
Dari apa yang diutarakan oleh Smint tersebut di atas, Moeljatno menyimpukan bahwa kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi dasarnya sama,yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana adanya kemampuan bertanggung jawab, dan tidak adanya alasannya pemaaf, tetapi bentuknya lain. Dalam kesengajaan, sikap batin orang menentang larangan. Dalam kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan sesuatu yang objektif klausal yang menimbulkan keadaan yang dilarang.
Dengan terpenuhinya syarat-syarat adanya pertanggungjawaban pidana seorang anak, hal ini berarti bahwa terhadap anak tersebut dapat dikenakanpemidanaan  Pemidanaan terhadap anak hendaknya harus memperhatikan perkembangan seorang anak. Hal ii disebabkan bahwa anak tidak dapat/kurang perpikir dan kurangnya pertimbangan atas perbuatan yang dilakukannya. Disamping itu, anak yang melakukan perbuatan pidana tidak mempunyai motif pidana dalam melakukan tindakannya yang sangat berbeda dengan orang dewasa yang melakukan tindak pidana karena memang ada motif pidananya.
Pemberian pertanggungjawaban terhadap anak harus mempertimbangkan perkembangan dan kepentingan terbaik anak di masa yang akan datang. Penanganan yang salah menyebabkan rusak bahkan musnahnya bangsa di masa depan, karena anak adalah generasi penerus bangsa dan cita-cita negara.
Undang-undang  No.3 tahun 1997 Bab III  memuat sanksi pidana dan tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak. Sebagaimana ditentukan dalam pasal23 UU No.3 Tahun 1997 pidan ayng dapat dijatuhkan kepada anak berupa pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana pokok berupa (a) Pidana penjara, (b) Pidana kurungan (c) Pidana denda (d) pidana pengawasan. Sedangkan pidana tambahan berupa permpasan barang-barang tertentu dan ataupembayaran ganti rugi.
Sesuai dengan UU No.3 Tahun 1997 batas usia anak yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin (4). Sedangkan mengenai penjatuhan sanksi, diberikan batasan umur terhadap anak yang masih berumur 8 sampai dengan 12 tahun, akan diberi tindakan; (1) dikembalikan kepada orang tuanya, (2) ditempatkan pada organisasi sosial atau (3) diserahkan kepada negara.
Setiap anak pelaku tindak pidana yang masuk sistem peradilan pidana harus diperlakukan secara manusiawi sebagaimana termuat dalam UU No.3 tahun 2003 tentang perlindungan anak, yaitu nondiskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangannya, serta penghargaan terhadap anak.
            Pada pasal 64 UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak juga mengatur perlindungan terhadap anak yaitu:
1.    Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak
2.    Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini
3.    Penyediaan sarana dan prasarana khusus
4.    Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang tebaik bagi anak
5.    Pemantauan dan pencatatan terus-menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum. Pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga.
6.    Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi.
Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak dapat dilakukan penahanan. UU nasional memberikan peluang dilakukannya penahanan terhadap anak pelaku tindak pidana. Contohnya pasal 43 ayat 2 UU No.3 tahun 1997 menyatakan bahwa “Penangkapan anak nakal dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 (satu) hari”. Dalam pasal 44 ayat 2menyebutkan bahwa “Penahanan hanya berlaku utuk paling lama 20 hari. Dalam ayat 3 menyebutkan bahwa “Apabila diperlukan guna kepentinan pemeriksaan yang belum selesai, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang, untuk paling lama 10 hari”. Selanjutnya dalam ayat 4 menyatakan bahwa “Dalam jangka waktu 30 hari penyidik sebagaimana yang dimaksud  dalam ayat 3 sudah harus menyerahkan berkas perkara pada pihak penuntut umum. Jika dalam jangka waktu 30 hari polisi belum menyerahkan berkas perkara pada pihak penuntut umum, maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hokum”. Selama anak ditahan, anak harus berada ditempat khusus dengan kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi.
B.   Perlindungan Hukum Terhadap Anak Pada Tahap Penyidikan
1.    Penyidik Anak
Perkara pidana yang dilakukan oleh anak-anak pada umumnya ketentuan yang dilanggar adalah peraturan pidana yang terdapat dalam KUHP, maka penyidikannya dilakukan oleh penyidik umum dalam hal ini penyidik Polri. Sejalan akan diberlakukannya dengan diberlakukannya Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, telah dipertegas bahwa penyidikan terhadap perkara anak nakal dilakukan oleh penyidik Polri dengan dasar hukum Pasal 26 ayat (1) Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan yang pada intinya menyebutkan bahwa ”penyidikan terhadap perkara anak dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kapolri”. Meskipun penyidiknya penyidik Polri, akan tetapi tidak semua penyidik Polri dapat melakukan penyidikan terhadap perkara anak nakal. Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak dikenal adanya penyidik anak, yang berwenang melakukan penyidikan. Penyidik anak diangkat oleh Kapolri dengan Surat Keputusan Khusus untuk kepentingan tersebut. Undang – Undang Sistem Peradilan Pidana Anak melalui Pasal 26 Ayat (3) menetapkan syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Penyidik adalah :
  1. Telah berpengalaman sebagai penyidik;
  2. Mempunyai minat, perhatian, dedikasi dan memahami masalah anak.
  3. Telah mengikuti pelatihan teknis tentang peradilan Anak
Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan dilakukan dimulai semenjak tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai pada pelaksanaan putusan pengadilan tersebut. Selama proses peradilan tersebut , maka hak-hak anak wajib dilindungi oleh hukum yang berlaku dan oleh sebab itu harus dilakukan secara konsekuen oleh pihak-pihak terkait dengan penyelesaian masalah anak nakal tersebut.
2.    Proses Penyidikan Anak
Kekuasaan Penyidikan adalah tahap yang paling menentukan dalam operasionalisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu tersebut dalam rangka tercapainya tujuan dari Penegakan Hukum Pidana, karena pada tahap penyidikanlah dapat diketahui adanya tersangka suatu peristiwa kejahatan atau tindak pidana serta menentukan tersangka pelaku kejahatan atau tindak pidana tersebut sebelum pelaku kejahatan tersebut pada akhirnya dituntut dandiadili di pengadilan serta diberi sanksi pidana yang sesuai dengan perbuatannya. Tanpa melalui proses atau tahapan penyidikan maka secara otomatis, tahapan-tahapan selanjutnya dalam proses peradilan pidana yaitu tahapan penuntutan, pemeriksaan di muka pengadilan dan tahap pelaksanaan putusan pidana tidak dapat dilaksanakan.
Penyidikan itu sendiri, berarti serangkaian tindakan penyidik, dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari dan mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, sedangkan ”bukti”, dalam ketentuan tersebut di atas adalah meliputi alat bukti yang sah dan benda sitaan/barang bukti. Di Indonesia, masalah kewenangan dan ketentuan mengenai ”Penyidikan” diatur di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menjadi dasar hukum pidana formil di Indonesia. Ketentuan mengenai aparat yang berwenang untuk melakukan penyidikan, selain diatur di dalam KUHAP, juga diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan lain di luar KUHAP.
Tindakan yang dapat dilakukan penyidik adalah penangkapan, penahanan, mengadakan pemeriksaan ditempat kejadian, melakukan penggeledahan, pemeriksaan tersangka dan interogasi, membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP), penyitaan, penyimpanan perkara, melimpahan perkara. Penyidikan yang diterapkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak harus dipandang sebagaimana layaknya status dan fungsi seorang penyidik menurut KUHAP. Penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dilakukan oleh penyidik anak yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Kepala Kepolisian RI atau pejabat yang ditunjuknya.
Penyidikan terhadap anak tersebut haruslah dalam suasana kekeluargaan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU RI No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyebutkan bahwa :
“Dalam menangani perkara Anak, Anak Korban, dan/atau Anak Saksi, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya wajib memperhatikan kepentingan terbaik bagi Anak dan mengusahakan suasana kekeluargaan tetap terpelihara.”
Penyidik wajib memeriksa tersangka dalam suasana kekeluargaan (Pasal 18 UU No. 11 Tahun 2012). Kentuan ini menghendaki bahwa pemeriksaan dilakukan dengan pendekatan secara efektif dan simpatik. Efektif dapat diartikan, bahwa pemeriksaannya tidak memakan waktu lama, dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, dan dapat mengajak tersangka memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya. Simpatik maksudnya pada waktu pemeriksaan, penyidik bersikap sopan dan ramah serta tidak menakut-nakuti tersangka. Tujuannya adalah agar pemeriksan berjalan dengan lancar, karena seorang anak yang merasa takut sewaktu menghadapi penyidik, akan mengalami kesulitan untuk mengungkapkan keterangan yang benar dan sejelas-jelasnya. Pada waktu pemeriksaan tersangka, penyidik tidak memakai pakaian seragam.
Ketentuan Pasal 18 ini, mencerminkan perlindungan hukum pada anak, apabila penyidik tidak melakukan pemeriksaan dalam suasana kekeluargaan, tidak ada sanksi hukum yang dapat dikenakan kepadanya. Dalam melakukan penyidikan anak nakal, penyidik wajib meminta pertimbangan atau saran dari pembimbing kemasyarakatan, dan apabila perlu juga dapat meminta pertimbangan atau saran dari ahli pendidikan, ahli kesehatan jiwa, ahli agama, atau petugas kemasyarakatan lainnya (Pasal 27 ayat 1 dan 2 UU No. 11 Tahun 2012). Laporan penelitian kemasyarakatan, dipergunakan oleh penyidik anak sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan tindakan penyidikan, mengingat bahwa anak nakal perlu mendapat perlakuan sebaik mungkin dan penelitian terhadap anak dilakukan secara seksama oleh peneliti kemasyarakatan (Bapas), agar penyidikan dapat berjalan dengan lancar.
Pasal 27 ayat 1 UU No. 11 tahun 2012, menentukan bahwa dalam melakukan penyidikan anak nakal, penyidik dibantu pembimbing kemasyarakatan. Pasal 65 ayat 1 huruf b UU No. 11 Tahun 2012, menentukan bahwa pembimbing kemasyarakatan bertugas membantu memperlancar penyidikan dengan membuat laporan penelitian kemasyarakatan.
Proses penyidikan anak nakal, wajib dirahasiakan ( Pasal 19 ayat 1 UU No. 11 Tahun 2012). Tindakan penyidik berupa penangkapan, penahanan, dan tindakan lain yang dilakukan mulai dari tahap penyelidikan hingga tahap penyidikan, wajib dilakukan secara rahasia.
Perkara anak dapat diajukan ke sidang pengadilan sesuai Pasal 20 UU No. 11 Tahun 2012 adalah perkara anak yang berumur 12 tahun dan belum genap berumur 18 tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang Anak. Namun pasal 24 UU No.11 tahun 2012, masih memungkinkan dilakukan penyidikan anak yang berumur dibawah 12 tahun, namun berkas perkaranya tidak akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan di persidangan. Tujuan dilakukan penyidikan terhadap anak yang belum berumur 12 tahun yang diduga melakukan tindak pidana adalah untuk mengetahui bahwa anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana seorang diri atau ada orang lain yang terlibat atau anak yang bersangkutan melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang lain atau Tentara Nasional Indonesia (TNI), dalam hal ini yang berumur 12 tahun keatas dan atau dengan orang dewasa atau TNI.
Bertolak dari hal tersebut maka pada waktu pemeriksaan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum tersebut seorang penyidik tidak memakai seragam atau dinas dan melakukan pendekatan secara efektif, aktif, dan simpatik.
Penyidikan merupakan kompensasi penyidik, termasuk menghentikannya (Pasal 109 ayat 2 KUHAP). Alasan pemberian wewenang penghentian penyidikan ada dua yaitu ;
  1. Untuk menegakan prinsip penegakan hokum yang cepat, tepat, dan biaya ringan, sekaligus untuk tegaknya kepastian hukum dalam kehidupan masyarakat. Jika penidik berkesimpulan bahwa hasil penyelidikan dan penyidikan tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut tersangka ke pengadilan, penyidik secara rmenyatakan penghentianpemeriksaan penyidikan, agar dengan demikian segera tercipta kepastian hokum, baik bagi penyidik sendiri, terutama kepada tersangka dan masyarakat;
  2. Supaya penyidik terhindar dari kemungkinan tuntutan ganti kerugian, jika perkaranya diteruskan ternyata tidak cukup bukti atau alasan untuk menuntut atau menghukum, dengan sendirinya member hak kepada tersangka/terdakwa untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan Pasal 95 KUHAP.
Dalam praktik, alasan penghentian penyidikan adalah :
  1. Delik yang terjadi merupakan delik aduan yang dapat dilakukan pencabutan; perbuatan yang terjadi bukan merupakan perbuatan pidana;
  2. Anak masih sekolah dan masih dapat dibina orang tuanya, sehingga anak tersebut dikembalikan kembali kepada orang tuanya dan kasusnya tidak akan dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.
Penghentian penyidikan juga dilakukan apabila ada perdamaian antara pihak anak nakal dengan korban. Hal ini merupakan penyimpangan, karena perdamaian tidak dikenal dalam perkara pidana. Seyogyanya penghentian penyidikan dilakukan atas pertimbangan kepentingan anak, terlepas dari ada perdamaian atau tidak. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut masih kurang lengkap, maka penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara kepada penyidik, disertai petunjuk untuk dilengkapi. Setelah penyidik menerima berkas perkara tersebut, penyidik wajib melakukan penyidikan tambahan dan dalam tempo 14 hari setelah pengembalian berkas perkara dari penuntut umum, penyidik sudah menyiapkan pemeriksaan penyidikan tambahan ( disempurnakan) dan diserahkan lagi kepada penuntut umum ( Pasal 110 ayat 1 KUHAP )
Penyidikan dianggap selesai dan lengkap, apabila telah ada pemberitahuan dari penuntut umum yang menyatakan bahwa berkas perkara telah lengkap atau apabila tanggapan waktu 14 hari sejak tanggal penerimaan berkas, penuntut umum tidak menyampaikan pernyataan apa-apa dan tidak pula mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik. Terhitung sejak tenggang waktu tersebut, dengan sendirinya menurut hokum penyerahan berkas perkara sudah sah dan sempurna, beralih kepada penuntut umum tanpa memerlukan proses lagi. Terjadi penyerahan tanggung jawab hukum atas seluruh perkara yang bersangkutan dari penyidik kepada penuntut umum. Peralihan tanggung jawab yuridis atas berkas perkara, tanggung jawab hukum atas tersangka dan tanggung jawab hukum atas segala barang bukti atau benda yang disita.
Secara garis besarnya tugas-tugas penyidikan terdiri dari tugas menjalankan operasi lapangan dan tugas administrasi hukum. Menurut Undang-undang No. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, terdapat tugas-tugas penyidik yang berhubungan dengan tugas yang meliputi :`
a)  Penangkapan
Mengenai tindakan penangkapan diatur dalam ketentuan-ketentuan KUHAP.  Berdasarkan pasal 16 KUHAP dapat diketahui bahwa tujuan penangkapan tersangka ialah untuk kepentingan penyelidikan dan kepentingan penyidikan. Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup (Pasal 17 KUHAP). Pelaksana tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian Negara RI, dengan memperlihatkan surat tugas dan memberikan kepada tersangka surat–surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka. Menyatakan alasan penangkapan, dan uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan,serta mengemukakan tempat tersangka diperiksa (Pasal 18 KUHAP).
Pengertian penangkapan menurut KUHAP Pasal 1 butir (20) :
“Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
Ketentuan hukum acara pidana yang menjadi sorotan essential dari proses penyidikan adalah penangkapan terhadap pelaku tindak pidana kejahatan dan pelanggaran, dimana tugas penangkapan berbatasan dengan ketentuan hukum yang menegakkan hak-hak asasi anak yang mendapatkan tuntutan keadilan hukum terhadap aparat penegak hukum dan pemerintah (lembaga polisi). Ketentuan terhadap dasar perlindungan anak harus dapat menonjolkan bentuk-bentuk tindakan dan upaya rasional dan berdimensi rasa keadilan hukum terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.
Wewenang penangkapan dan penahanan terhadap anak menurut Pasal 30 Undang-undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menentukan bahwa kegiatan yang berhubungan dengan penangkapan dan penahanan mengikuti ketentuan Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penangkapan dan penahanan terhadap anak pelaku kejahatan atau anak nakal pada tahap penyidikan diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 33 Undang-undang Nomor 11 Tahun  2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak bahwa : Penangkapan anak nakal sama seperti penangkapan terhadap orang dewasa yang dilakukan sesuai dengan ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu pada Pasal 19 dan penangkapan tersebut dilakukan guna kepentingan pemeriksaan untuk paling lama 1 ( satu ) hari.
Wewenang penangkapan dalam menangani anak yang berhadapan dengan hukum harus pula memperhatikan asas hukum pidana yaitu : Presumsion Of Innocence ( Asas Praduga Tak Bersalah). Dalam melakukan penangkapan diperhatikan hak-hak anak sebagai tersangka, seperti hak mendapat bantuan hukum pada setiap tigkat pemeriksaan menurut tata cara yang ditentukan oleh undang-undang (Pasal 54 KUHAP). KUHAP tidak mengatur secara tegas bukti cukup atau tidak. Hal ini tidak mencerminkan perlindungan hukum terhadap anak, karena itu perlu diatur secara tegas dalam KUHAP yang berlaku secara khusus untuk anak.
Kedudukan anak dalam proses pemeriksaan penyidikan terdapat nuansa yang menimbulkan hak-hak anak secara khusus yang dapat mengesampingkan upaya paksa dan tindakan paksa dari proses penyidikan. Kontak awal antara anak dan polisi harus dihindarkan dalam suasana kekerasan fisik dan psikis sehingga dalam proses penyidikan terdapat hak-hak anak yang meliputi :
  1. Terhadap keluarga anak sebagai tersangka wajib diberitahukan terlebih dahulu baik melalui surat maupun lisan sebelum proses penangkapan dilakukan
  2. Penangkapan terhadap anak tidak dibolehkan dengan menggunakan alat atau senjata upaya paksa atau wewenang paksa
  3. Tersangka anak haru segera mendapat bantuan hukum secara wajib dan Cuma-cuma (dalam penangkapan penyidik penuntut umum harus mengikutsertakan seorang pengacara yang kelak akan menjadi penasehat hukum anak tersebut)
  4. Tersangka anak atau orang belum dewasa harus segera mendapatkan proses pemeriksaan
  5. Hak untuk mendapatkan ganti kerugian sebagai akibat dari kesalahan.
b) Penahanan
Setelah tindakan penangkapan, dapat dilakukan tindakan penahanan. Menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP : “Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Berdasarkan wewenang tersebut maka setiap instansi penegak hukum memiliki wewenang untuk melakukan penahanan.
Penahanan oleh penyidik anak atau penuntut umum anak atau hakim anak dengan penetapan, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang No.11 tahun 2012 dan KUHAP, menentukan bahwa tersangka atau terdakwa dapat ditahan. Karena ada istilah “dapat” ditahan, berarti penahanan anak tidak selalu harus dilakukan, sehingga dalam hal ini penyidik diharap betul-betul mempertimbangkan apabila melakukan penahanan anak. Menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP, alasan penahanan adalah karena ada kehawatiran melarikan diri, agar tidak merusak atau menghilangkan barang bukti, agar tidak mengulangi tindak pidana. Menurut hukum acara pidana, menghilangkan kemerdekaan seseorang tidak merupakan keharusan, tetapi untuk mencari kebenaran bahwa seseorang melanggar hukum, kemerdekaan seseorang itu dibatasi dengan melakukan penangkapan dan penahanan.
Penahanan Anak harus memperhatikan kepentingan yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental, maupun sosial anak serta mempertimbangkan kepentingan masyarakat misalnya dengan ditahannya anak akan membuat masyarakat aman dan tentram.
Pasal 33 ayat (1) UU No. 11 tahun 2012 menentukan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan anak yang diduga keras melakukan tindak pidana (kenakalan) berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Dasar diperkenankan suatu penahanan anak, adalah adanya dugaan keras berdasarkan bukti yang cukup, bahwa anak melakukan tindak pidana (kenakalan). Pasal 32 ayat 2 huruf a dan b UU No. 11 Tahun 2012 menegaskan bahwa Penahanan dilakukan apabila anak melakukan tindak pidana berusia 14 tahun ke atas dan diancam pidana penjara 7 tahun keatas yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam hal ini, muncul persoalan dalam menentukan “diduga keras” dan “bukti permulaan,” sebab bisa saja penyidik salah duga atau menduga-duga saja, hal ini tidak mencerminkan perlindungan anak. Anak dapat menjadi korban ketidak cermatan atau ketidak telitian penyidik. Menentukan bukti yang cukup sebagai bukti permulaan, dalam KUHAP tidak diatur dengan tegas, hal ini tidak mencerminkan perlindungan anak. Bisa saja menurut penyidik bukti permulaan telah cukup, padahal hakim dalam pra-peradilan (apabila diajukan pra-peradilan oleh anak nakal/penasehat hukumnya) memutuskan bahwa penahanan tidak sah, anak sudah dirugikan terutama dari segi mental, anak merasa tertekan dan trauma atas pengalaman-pengalaman tersebut. Menjamin agar ketentuan mengenai dasar penahanan ini diindahkan, diadakan institusi pengawasan yang dilakukan oleh atasan di instansi masing-masing, yang merupakan “built in control” maupun pengawasan sebagai sistem “checking” antara penegak hukum.
Terkait dengan penahanan, penahanan tahap pertama terhadap anak berbeda dengan penahanan terhadap orang dewasa yaitu dilakukan hanya berlaku paling lama 7 (tujuh) hari dan apabila belum selesai, atas permintaan penyidik dapat diperpanjang oleh penuntut umum yang berwenang untuk paling lama 8 (delapan) hari.
Dalam waktu 15 (lima belas hari), Polri sebagai penyidik tindak pidana sudah harus menyerahkan berkas perkara yang bersangkutan kepada Penuntut Umum, apabila jangka waktu tersebut dilampaui dan berkas perkara belum diserahkan maka tersangka harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Perbedaan antara penahanan terhadap anak dengan penahanan orang dewasa terletak di jangka waktu penahanan dan perpanjangan penahanan apabila proses penyidikan belum selesai. Penahanan tahap pertama bagi orang dewasa 20 hari dan dapat diperpanjang paling lama 40 (empat puluh) hari. Disamping itu penahanan terhadap anak dilaksanakan di tempat khusus untuk anak yakni lembaga penempatan anak sementara (LPAS) atau lembaga Penyelenggaraan kesejahteraan social (LPKS) apabila belum terdapat LPAS.
Penahanan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh mempertimbangkan kepentingan anak dan atau kepentingan masyarakat. Penyididk yang melakukan tindakan penahanan, harus terlebih dahulu mempertimbangkan dengan matang akibat dari tindakan penahanan, dari segi kepentingan anak, seperti pertumbuhan dan perkembangan anak baik fisik, mental maupun sosial.
Selain itu dipertimbangkan dengan matang kepentingan masyarakat, misalnya dengan ditahannya tersangka masyarakat menjadi aman dan tentram. Hal ini sulit didalam penerapannya, sebab dalam mempertimbangkan kepentingan yang dilindungi dengan melakukan penahanan, tidak mudah dan menyulitkan pihak penyidik yang melakukan tindakan penahanan. Dalam tindakan penahanan, penyidik seharusnya melibatkan pihak yang berkompeten, seperti pembimbing kemasyarakatan, psikolog, kriminolog, dan ahli lain yang diperlukan, sehingga penyidik anak tidak salah mengambil keputusan dalam melakukan penahanan.
Pasal 32 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 menentukan bahwa alasan penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dinyatakan secara tegas dalam surat printah penahanan. Pelanggaran atau kelalaian atas Pasal Pasal 32 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012, tidak diatur dengan tegas akibat hukumnya, sehingga dapat merugikan anak. Penahanan anak, didasarkan atas pertimbangan kepentingan anak dan kepentingan masyarakat yang harus dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan. Keharusan ini tidak ada akibat hukumnya, manakala pejabat yang berwenang melakukan penahanan. Sanksi yang dapat diberikan terhadap penyidik anak tidak diatur atau akibat hukum dari tindakan penahanan tersebut tidak jelas. Perkembangan hukum dibidang pengadilan anak ini semakin menunjukkan kelemahan KUHAP, terutama menyangkut pra-peradilan.
Dalam prakteknya, dasar pertimbangan dilakukan penahanan anak belum dipahami pihak kepolisian secara tepat. Mereka masih menganggap bahwa dasar pertimbangan dilakukan menahan anak, adalah karena anak melakukan tindak pidanya yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, dikhawatirkan melarikan diri, merusak bukti atau mengulangi tindak pidana. Bila dipahami secara mendalam, dapat diketahui bahwa dasar pertimbangan penahanan anak menurut Pasal 32 ayat (2) UU No. 11 tahun 2012 adalah Penahanan dilakukan apabila anak melakukan tindak pidana berusia 14 tahun ke atas dan diancam pidana penjara 7 tahun keatas yang ditentukan oleh undang-undang. Jika kepentingan anak menghendaki dilakukan penahanan, maka anak tersebut ditahan. Tetapi apabila kepentingan anak tidak menghendaki, walaupun anak melakukan tindak pidana yang diancam dengan penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih, maka tidak dilakukan penahanan. Kepentingan anak dalam hal ini, ialah dipertimbangkannya pengaruh penahanan terhadap perkembangan fisik, mental, dan sosial anak, maka penahanan anak tidak dilakukan. Penahanan dilakukan sebagai upaya terakhir/tindakan terakhir dan dalam jangka waktu singkat. Mempertimbangkan kepentingan anak, dilibatkan balai pemasyarakatan yang melakukan penelitian kemasyarakatan terhadap anak nakal, dapat juga dilibatkan ahli-ahli seperti kriminolog, psikolog, pemuka agama (rohaniawan) dan lain-lain.
Tempat penahanan anak, harus dipisah dari tempat penahanan orang dewasa dan selama anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial anak harus tetap dipenuhi (Pasal 33 ayat 4 dan ayat 5 UU No.11 Tahun 2012). Penahanan anak ditempatkan lembaga penempatan anak sementara (LPAS) atau lembaga Penyelenggaraan kesejahteraan social (LPKS) apabila belum terdapat LPAS, tempatnya terpisah dari narapidana anak. Hal ini dilatar belakangi oleh pertimbangan psikologis, untuk menghindari akibat negatif sebab anak yang ditahan belum tentu terbukti melakukan kenakalan, bergaul dengan narapidana anak, dikhawatirkan dapat menularkan pengalaman-pengalamannya kepada anak yang berstatus tahanan, dan mempengaruhi perkembangan mentalnya. Dalam praktek, diketahui bahwa tahanan anak digabung dengan orang dewasa, dengan alasan bahwa tempat penahanan di lembaga pemasyarakatan orang dewasa belum penuh. Hal ini sangat berbahaya dan tidak mencerminkan perlindungan anak. Narapidana anak dan tahanan anak, berpengaruh dengan sikap dan tindakan tahanan dewasa. Anak bisa saja mengetahui pengalaman-pengalaman melakukan kejahatan yang belum pernah didengar dan dilakukannya, atau bahkan anak dapat menjadi korban pelecehan seksual selama berada dalam tahanan tersebut.















BAB III
Penutup
A.Kesimpulan
1. Seorang anak tidak seutuhnya dapat mempertanggung jawabkan semua perbuatannya karena lingkungan dan masyarakat merupakan suatu kontrol dalam menilai tindakan yang dilakukannya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang anak berurusan dengan aparat penegak hukum antara lain kurangnya perhatian keluarga, faktor pergaulan/lingkungan, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, arus globalisasi dibidang informasi dan komunikasi serta perubahan gaya hidup sebagian orang tua.
2. Perlindungan dalam proses penyidikan kepada anak terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak adalah sebagai bentuk perhatian dan perlakuan khusus untuk melindungi kepentingan anak. Perhatian dan perlakuan khusus tersebut berupa perlindungan hukum agar anak tidak menjadi korban dari penerapan hukum yang salah yang dapat menyebabkan penderitaan mental, fisik dan sosialnya.
B.Saran
1. Masa anak-anak adalah masa yang sangat rawan melakukan tindakan, hal ini karena masa anak-anak suatu masa yang sangat rentan dengan berbagai keinginan dan harapan untuk mencapai sesuatu ataupun melakukan sesuatu. Seorang anak dalam melakukan sesuatu tidak /kurang menilai akibat akhir dari tindakan yang di ambilnya. Oleh karena itu orang tua mempunyai kewajiban untuk membantu anak baik secara fisik, ekonomi maupun psikis dalam perkembangan kejiwaan anak.
2. Hendaknya dasar legetimasi mengenai adanya pengaturan tindakan lain yang dapat dilakukan oleh penyidik agar tidak melakukan penahanan dapat digunakan oleh penyidik dalam setiap proses penanganan anak yang bermasalah dengan shukum agar proses penanganan anak yang bermasalah dengan hukum sesuai dengan prinsip peradilan anak tersebut berjalan sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan.
Daftar Pustaka

Dr.Marlina SH.M.HUM.2009.Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama.
http://aminhamid09.wordpress.com/2012/11/15/perlindungan-hukum-terhadap-anak-pada-tahap-penyidikan/







Tidak ada komentar:

Posting Komentar